BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara
historis tasawuf adalah pemandu perjalanan hidup umat manusia agar selamat
dunia dan akhirat, itu di karenakan Tasawuf merupakan salah satu khazanah
intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan.
Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad saw adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung
keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang
prima.
Melihat
betapa pentingnya tasawuf dalam kehidupan ini tidaklah mengherankan jika tasawuf
ditentukan sebagai mata kuliah yang wajib diikuti oleh kita semua. Sebagai
upaya untuk menanggulangi kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini.
Untuk mengungkap
segala permasalahan yang terkait dengan Tasawuf, kami akan mencoba
menguraikannya dalam makalah yang berjudul “Pengertian Tasawuf, Sejarah
Perkembangan Tasawuf, dan Fungsi Tasawuf”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan sebuah
masalah yakni :
1.
Apa yang
dimaksud dengan tasawuf ?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan
tasawuf ?
3.
Apa fungsi
tasawuf?
C.
Tujuan
1.
Mampu memahami tentang pengertian
tasawuf
2.
Mampu mengetahui sejarah perkembangan
tasawuf
3.
Mampu memahami tentang fungsi tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Sebelum lebih jauh
membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian singkat
sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf.
1.
Ada yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci, bersih atau murni.
Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan dari setiap tindakan
dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan dengan niat suci
untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT. [1]
2.
Ada lagi yang
mengatakan tasawuf berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka
dinamakan sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris
(saff) pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia,
kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.[2]
3.
Ada pula yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid,
artinya serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid
Nabawi yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan
tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka
adalah orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta
meninggalkan usaha-usaha duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena
sifat-sifat mereka menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid
(suffah) yang hidup pada masa nabi SAW.[3]
4.
Sementara
pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba
atau wol. Hal ini karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang halus
disentuh atau indah dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa.
Mereka memakai pakaian yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat
dari kain wol kasar (suf).[4]
Sedangkan
tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:[5]
Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi
ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi
ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan
dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga
emas dan pasir.
Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), tokoh
sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang
menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah
(kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian,
berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar
keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap
Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan
definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunah,
berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat,
dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.
Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas
mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri
dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan
jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).
B.
Asal Usul
Tasawuf
Tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis.
Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara
Allah dengan hamba-Nya manusia, diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan
di atas.
Secara umum
Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah
inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta
praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang
kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam
al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8);
petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka
berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang
dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan
senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali
Imron: 3).[6]
Begitu juga perintah Allah untuk ikhlas semata
mengharap ridha-Nya dalam beribadah (al-Bayinah: 5); berperilaku jujur
(al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6); yakin, tawakal (al-Anfal: 49);
qonaah, rendah hati dan tidak sombong (al-Isra’:37); beribadah dengan penuh
pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’) (al-Kahfi: 110), takut terhadap murka
Allah atas segala dosa (khauf) (at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53);
amar ma’ruf nahi munkar (Ali Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan
amal diajarkan dalam al-Qur’an kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an,
as-Sunnah pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi
berikut dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf:
كُنْتُ
كَنْزًا مُخْفِيًا فَاحْبَبْتُ اَنْ اَعْرِفَ فَخَلَقْتُ الخَلْقَ فَبِى عَرَفَوْنِى
“Aku adalah perbendaharaan yang
tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.
Hadis tersebut memberi petunjuk bahwa
alam raya, termasuk manusia adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan.
Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui penciptaan alam ini. Dengan demikian
dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk
mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam raya ini pada hakikatnya adalah milik
Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah:
156: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan
kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Juga
hadis riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:
لَا يَزَالُ العَبْدُ
يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَوَافِلِ حَتَى اُحِبُهُ فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمِعَهُ
الَّذِى يَسْمَعُ وَبَصَرَهُ الَّذِى يَبْصُرُ بِهِ وَلِسَانُهُ الَّذِى يَنْطِقُ
بِهِ وَيَدُهُ الَّذِى يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلُهُ الَّذِى يَمْشِى بِهَا فَبِى يَسْمَعُ
فَبِى يَبْصُرُ وَبِى يَنْطِقُ وَبِى يَعْقِلُ وَبِى يَبْطِشُ وَبِى يَمْشِى.
“Senantiasa seorang hamba itu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat, sehingga Aku
mencintainya. Maka apabila Aku
mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar,
penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk
berbicara, tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai
untuk berjalan; maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir,
meninju dan berjalan.”
Hadis tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang
selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk kepada Tuhan
yang saling mencintai.
Benih-benih tasawuf dipraktekkan
langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat
menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada
bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan
acuan utama para sufi dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah
terjadi ketika beliau melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog
langsung dengan Allah ketika menerima perintah Shalat lima waktu.
Perikehidupan (sirah) Nabi SAW juga
merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi yang sederhana, zuhud, dan
tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu do’anya nabi
bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku
selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim). Pada suatu waktu
Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata
di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti ini diterimanya dengan sabar,
lalu beliau menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan
Nasai). Nabi juga sering mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.
Cara beribadah Nabi SAW juga merupakan
cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam
satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW
mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya bergetar karena panjang,
banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar
suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan shalat sampai suara azan
Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun
melakukan shalat, Aisyah bertanya: “Wahai junjungan, bukankah dosamu yang
terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu
banyak melakukan shalat?” Nabi SAW menjawab: ‘Aku ingin menjadi hamba yang
banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak Nabi SAW merupakan acuan akhlak
yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya dipuji oleh manusia termasuk
musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya
kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. 68:4). Dan ketika
Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”.
(HR. Ahmad dan Muslim).
Ajaran rasul tentang bersikap dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti oleh para sahabatnya,
dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh Muslim hingga saat
ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (Al-Ahzab: 21).
C.
Sumber Ajaran
Tasawuf.
Demikian sekilas asal-usul tasawuf dalam
Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Namun
demikian perlu juga kita perhatikan pendapat dari kalangan orientalis Barat.
Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur
Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur
Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya,
selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam tasawuf menurut orientalis
dapat dijelaskan berikut:
1.
Unsur Masehi
(agama Nasrani)
Orang Arab sangat menyukai cara kependataan, khususnya
dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa
tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman
Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap
fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya
Noldicker mengatakan bahwa pakaian kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai
lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh
para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu
berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran
tasawuf berasal dari agama Nasrani.[7]
Unsur lain yang dikatakan berasal dari
Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam
adalah seorang yang fakir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa
berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan
Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang.”
Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihat
pada peranan syekh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus
dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat
mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, dimana sufi dapat
menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.[8]
2.
Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada
dunia Islam di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan
puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah
ikut mempengaruhi pola fikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan
Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani
adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak
filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina,
terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian
tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi, Syukhrawardi, dan lain
sebagainya.[9]
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya
filsafat ke dunia Islam melalui mazhab paripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab
yang pertama (paripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk ke dalam bentuk
skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo Platonisme lebih masuk
kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya Plotinus yang mengatakan bahwa
wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar
argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal mula tasawuf di dunia Islam.
Dalam emanasinya, Plotinus menjelaskan bahwa roh berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada Tuhan. Akan tetapi ketika masuk ke alam materi, roh menjadi
kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih dahulu
dibersihkan. Penyucian roh dilakukan dengan
cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sebisa mungkin, atau bersatu
dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap
munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.[10]
3.
Unsur
Hindu/Budha
Tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu memiliki
persamaan, seperti sikap fakir. Darwis Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara
ibadah dan mujahadah pada tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham
reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan
dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat
Allah.[11]
Salah satu maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada
persamaan dengan ajaran Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa
ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham
tokoh sufi.[12]
Menurut Qomar Kailan pendapat-pendapat
ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu
berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran
Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan
seperti itu.[13]
4.
Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak
lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun,
belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia
telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia
hingga orang-orang
Dari semua uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa
sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an
dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah
tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari
luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan
dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan
dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi
berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama
mengajarkan tentang ketauhidan.
D.
Beberapa Istilah dalam Ilmu
Tasawuf
1.
Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari
bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[4] Istilah
ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Seperti telah
disinggung diatas, bahwa maqam-maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri
atas;
a. Taubat
Taubat berasal dari bahasa arab taba, yatubu,
taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan
sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang
sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang
disertai dengan melakukan amal kebajikan.
b.
Cemas dan harap
(khauf dan raja’)
Menurut Hasan Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas
atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan
sering lalai kepada Allah. Karena sering menyadari kekurang sempurnaannya dalam
mengabdi kepada Allah, timbullah rasa takut dan khawatir apabila Allah akan
murka kepadanya.
c.
Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada
sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud
artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
d.
Faqr (fakir)
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai
orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan kaum
sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban.
Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak
meminta tetapi tidak menolak.
e.
Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Menurut Zun
al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan
sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
f.
Ridha
(rela)
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang.
Harun Nasution mengatakan bahwa ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang
qada dan qadar Allah. Menerima qada dan qadar Allah dengan senang hati.
g.
Muraqabah
Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan
introspeksi atau self correction. Dengan kalimat yang lebih populer dapat
dikatakan bahwa muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti
keadaan diri sendiri.
2.
Hal
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan
mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.
Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati
(al-Tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns),
gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan
diperoleh atas usaha manusia, tetapi sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan.
Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang
dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
3.
Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba,
yahibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam,
atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Pengertian mahabbah dari segi tasawuf
ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi, yaitu bahwa mahabbah adalah
keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya kemutlakan Allah
SWT oleh hambanya, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada
yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
4.
Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari
kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman.
Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan
dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan
bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan
hati sanubari.
5.
Fana dan Baqa
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud
sesuatu. Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran
pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada
diri.menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan
dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang
tercela.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara
harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan baqa yang dimaksud oleh para sufi adalah
kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
6.
Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Dalam situasi Ittihad yang
demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
7.
Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan
sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Jika sifat ketuhanan yang ada dalam
diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka
terjadilah Hulul.
8.
Wahdat al-Wujud
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari
dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau
kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud
berarti kesatuan wujud. Menurut pandangan para sufi, wahdat al-wujud adalah
paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan
wujud.
9.
Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua
kata; insan dan kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti
yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.
10. Tariqat
Dari segi bahasa tariqat berasal dari
bahasa arab thariqat yang artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu.
Lebih khusus lagi tariqat di kalangan sufi berarti sistem dalam rangka mengadakan
latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya
dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas
semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan.
E.
Tujuan Tasawuf
Adapun tujuan tasawuf adalah:
1.
Menurut Harun
Nasution, tujuan tasawuf adalah
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan
mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan.
2.
Menurut K.
Permadi, tujuan tasawuf ialah fana untuk mencapai makrifatullah, yaitu leburnya
diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap diliputi
rasa ketuhanan.
Dengan demikian inti dari ajaran tasawuf
adalah menempatkan Allah sebagai pusat segala aktivitas kehidupan dan
menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usaha memperoleh keridaan-Nya
F.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan
tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang
selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak
tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai
berikut:
1.
ABAD PERTAMA DAN
KEDUA HIJRIYAH
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah
belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi lebih tepat disebut
sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri tasawuf pada fase ini adalah sebagai
berikut:
a.
Bercorak praktis
( amaliyah )
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat
amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak
ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.
Amaliah ini menjadi lebih intensif terutama pasca terbunuhnya sahabat Utsman.
Para sahabat Nabi SAW digambarkan oleh Allah SWT sebagai orang yang ahli rukuk
dan sujud,
Artinya:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. ( al-Fath: 29 )
Menurut Abd al-Hakim Hassan, abad
pertama hijriyah terdapat dua corak kehidupan spiritual.
Pertama, kehidupan spiritual sebelum terbunuhnya Utsman dan kedua, kehidupan spiritual pasca terbunuhnya
Utsman. Kehidupan spiritual yang
pertama adalah Islam murni, sementara yang kedua adalah produk persentuhan
dengan lingkungan, akan tetapi secara prinsipil masih tetap bersandar pada
dasar kehidupan spiritual Islam pertama.
Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman
merupakan pukulan tersendiri terhadap perasaan kaum muslimin. Betapa tidak,
Utsman adalah termasuk kelompok pertama orang-orang yang memeluk Islam ( al-
Sabiqun al-Awwalun ), salah seorang yang
dijanjikan masuk surga, orang yang dengan gigih mengorbankan hartanya untuk
perjuangan Islam dan orang yang mengawini dua putri Nabi. Peristiwa Utsman
mendorong munculnya kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik
memilih tinggal di rumah untuk menghindari fitnah serta konsentrasi untuk
beribadah. Sehingga al-Jakhid salah seorang yang berkonsentrasi dalam ibadah
yang juga salah seorang santri Ibn Mas’ud berkata, “Aku bersyukur kepada Allah
sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan aku shalat sebanyak
seratus rakaat dan ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin aku bersyukur kepada
Allah dan aku menambahi shalat dua ratus rakaat demikian juga aku menambahi
masing-masing seratus rakaat ketika aku tidak ikut hadir dalam peristiwa
Nahrawan dan fitnah Ibn Zubair”.
2.
Bercorak
kezuhudan
Tasawuf pada pase pertama dan kedua
hijriyah lebih tepat disebut sebagai kezuhudan. Kesederhanaan kehidupan Nabi
diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan tindakan Nabi SAW
yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari segi pakaian
maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian yang bagus
dapat dipenuhi. Dan secara logikapun tidak masuk akal seandaikata Nabi SAW yang
menganjurkan untuk hidup zuhud sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.
Kezuhudan para sahabat Nabi SAW
digambarkan oleh Hasan al-Bashri salah seorang tokoh zuhud pada abad kedua
Hijriyah sebagai berikut, ”Aku pernah menjumpai suatu kaum ( sahabat Nabi )
yang lebih zuhud terhadap barang yang halal dari pada zuhud kamu terhadap
barang yang haram”.
Pada masa ini, juga terdapat fenomena
kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul yang
di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka tinggal di emperan masjid Nabawi di
Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan bergaul bersama mereka.
Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di masjid, seperti belajar,
memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain sebagainya. Allah
SWT sendiri juga memerintahkan Nabi untuk bergaul bersama mereka,
Artinya:
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki
keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan
mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,
yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk
orang-orang yang zalim). ( al-An’am : 52 )
Kelompok ini dikemudian hari dijadikan
sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut
sebagai seorang sosial sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si
miskin yang tidak memiliki apapun tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati
harta-NYA yang abadi, Salman al-Faritsi,
seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi
rohani dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur
menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah, Abu Hurairah,
salah seorang perawi Hadits yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd
Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar
ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
Menurut Abd al-Hakim Hassan corak
kehidupan spiritual Ahl al-Shuffah
sebenarnya bukan karena dorongan
ajaran Islam, akan tetapi corak itu didorong oleh keadaan ekonomi yang
kurang menguntungkan, sehingga mereka
tinggal di masjid. Keadaan itu nampak dari anjuran Rasul Allah kepada sebagian
sahabat yang berkecukupan agar
memberikan makan kepada mereka. Dan mereka
( para sahabat ) yang secara ekonomi berkecukupan dan tidak melakukan
sebagaimana ahl al-Shuffah pun juga menjadi panutan bagi orang-orang bijak.
3.
Kezuhudan
didorong rasa khauf
Khauf sebagai rasa takut akan siksaan Allah SWT
sangat menguasai sahabat Nabi SAW dan orang-orang shalih pada abad pertama dan
kedua Hijriyah. Informasi al-Qur`an dan Nabi tentang keadaan kehidupan akhirat
benar-benar diyakini dan mempengaruhi perasaan dan pikiran mereka. Rasa khauf
menjadi semakin intensif terutama pada pemerintahan Umayah pasca jaman
kekhilafahan yang empat. Pada masa
pemerintahan Umayah, khauf tidak hanya sebatas sebagai rasa takut terhadap
kedasyatan dan kengerian tentang kehidupan diakhirat akan tetapi khauf juga
berarti kekhawatiran yang mendalam apakah pengabdian kepada Allah bakal
diterima atau tidak. Pada masa ini pula, khauf
menjadi sebuah pendekatan untuk mengajak orang lain pada kebenaran dan
kebaikan. Pendekatan indzar (menakut-nakuti) lebih dominan dari pada pendekatan
tabsyir (memberi kabar gembira).
Semangat kelompok keagamaan pada masa
ini adalah penyebaran rasa takut kepada Allah, kritik terhadap kehidupan yang
melenceng jauh dari nilai-nilai keagamaan pada masa Nabi dan dua khalifah
sesudahnya dan memperbanyak ibadah. Tokoh utama keagamaan pada masa ini adalah
Hasan al-Bashri. Bahkan para asketis – yang nantinya disebut sebagai para shufi
– mengidentikkan pemerintah dengan kejahatan.
4.
Sikap zuhud dan
rasa khauf berakar dari nash ( dalil Agama )
Al-Qur`an dan al-Hadits memberikan informasi tentang
kebenaran sejati hidup dan kehidupan. Keduanya memberikan gambaran tentang
perbandingan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Keduanya memberikan
informasi tentang kengerian kehidupan akhirat bagi orang-orang yang mengabaikan
huum-hukum Allah. Selanjutnya orang –
orang mukmin benar-benar meyakini informasi itu. Dan keyakinan itu melahirkan
rasa khauf. Rasa khauf selanjutnya memunculkan sikap zuhud yaitu sikap menilai
rendah terhadap dunia dan menilai tinggi terhadap akhirat. Dunia dijadikan
sebagai alat dan lahan ( mazraah ) untuk mencapai kebahagian abadi dan sejati
yaitu akhirat.
5.
Sikap zuhud
untuk meningkatkan moral
Cinta dunia telah membuat saling bunuh dan saling
fitnah antar sesama. Cinta dunia melahirkan ketidaksalehan ritual, personal
maupun sosial. Itulah sebabnya Hasan al-Bashri sebagai salah seorang zahid
dalam mengajak baik masyarakat maupun pemerintah ( para pemimpin kerajaan
Umayah ) selalu mengajak untuk bersikap zuhud sebagaimana sikap ini menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sahabat Nabi yang setia.
6.
Sikap zuhud
didukung kondisi sosial-politik
Meski sikap zuhud tanpa adanya keadan sosial politik
tertentu masih tetap eksis lantaran al-Qur`an dan perilaku serta perkataan Nabi
SAW mendorong untuk bersikap zuhud, namun keadaan sosial politik yang kacau
turut menyuburkan tumbuhnya sikap zuhud.
Selama abad pertama dan kedua hijriyah
terutama setelah sepeninggal Rasul terdapat dua sistem pemerintahan, yaitu
sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah nubuwah) dan sistem pemerintahan
kerajaan (mulk). Pemerintahan pertama berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah
Nabi Muhammad SAW yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakar hingga Ali bin
Abi thalib tepatnya dari tahun 11 H/ 632 M. sampai dengan tahun 40 H./661 H.
Mereka adalah para pengganti Nabi yang
berpetunjuk ( al-khulafa` al-Rasidun ). Sistem pemerintahan yang pertama ini
mekanisme penggantiannya melalui pemilihan. Pemerintahan kedua sejak
pemerintahan dinasti Umayyah tepatnya sejak tahun 41 H./661 M. Dan pemerintahan
kedua ini mekanisme pengangkatan pemimpin tertinggi melalui petunjuk atau
wasiat penguasa berdasarkan pertalian darah.
Pemerintahan kekhalifahan, dalam
pandangan banyak orang muslim, suatu bentuk kesalihan dan rasa tanggungjawab
yang sangat dalam, sedangkan dinasti umayyah pada umumnya hanya tertarik pada
kekuasaan itu sendiri.
G.
Fungsi Tasawuf
Fungsi tasawuf dalam hidup menjadikan
manusia berkepribadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia, serta
ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tarekat atau aliran
tasawuf diharuskan mengisi kesehariannya untuk hidup sederhana, jujur,
istiqamah dan tawadhu, serta sifat-sifat keshalehan lainnya.
Fungsi Tasawuf Dalam Kehidupan Modern
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri
kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada
beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di
antaranya:

Artinya:
"Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan
jiwanya"
(Q.S.
Asy-syam [91]:9);



Artinya
:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr:
28-30).
Atau
ayat yang memerintahkan untuk berserah diri kepada Allah,


Artinya
:
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah" (QS. Al An'am:
162-163).
Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah
menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia
serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau
aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana,
jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah SAW,
yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi di
masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin,
Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik
terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada
jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah
kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf
adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang
lain. Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis
kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia
tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya.
Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka
lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan
penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan :
Tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT.
Ajaran tasawuf yang benar adalah yang
tidak mengabaikan akhlak terhadap sesama manusia. Jadi, bukan hanya hubungan
vertikal dengan Tuhan saja yang harus di bina, namun perlu juga hubungan dengan
sesama manusia dengan akhlak yang terpuji. Dalam Islam, bahwa walaupun tujuan
hidup harus diarahkan ke alam akhirat, namun setiap muslim diwajibkan untuk
tidak melupakan urusan dunianya. Setiap muslim wajib kerja keras untuk
menikmati rezeki Tuhan yang telah dihalalkan untuk umat-Nya, asal diperoleh
melalui jalan yang halal. Yakni berlomba dengan cara yang jujur dalam kebaikan
(fastabiqul khairat). Akan tetapi mengutamakan kehidupan dunia dan berpandangan
materialis-sekuler sangatlah dicela dan diharamkan dalam Islam.
Fungsi
umum tasawuf:
-
Agar kita itu mencontohi Rasulullah
dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
-
Menyeimbangkan lahir dan batin dunia
dan akhirat.
-
Agar hati ini teduh redup biar tidak
gelisah.
-
Membuat kesadaran sosial menjadi
lebih tinggi.
Fungsi
khusus tasawuf:
-
untuk
membersihkan hati kepada Allah.
-
membersihkan
jiwa dari pengaruh keduniaan.
-
menerangi jiwa
dari kegelapan.
-
memperteguhkan
dan menyuburkan keimanan.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin
Nata, Dr. MA. Tasawuf. Jakarta:
RadjaGrafindo Persada, 2002
al-Ghazali.
Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Asmaran
As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
MAHJUDIN,
Drs. 1991. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
MUSTOFA,
Drs. H. A. 1999. Akhlak-Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
NATA,
Prof. Dr. H. ABUDDIN, M.A. 2006. Tasawuf.
Jakarta: PT. Taja Grafindo Persada.
Permadi,
K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon
Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin,
M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Simuh.
Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996
Web
:
http://atin.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/09/10/materi-akhlak-tasawuf/
senin/9 maret 2014/16.57
[1]
Drs. Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada,
1996 hal.42-3
[2]
Ibid.
[3]
Ibid. hal. 44.
[4]
Ibid. Hal 44-5.
[5]
Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal.
28-9
[6]
Dr. H. Abudin Nata, MA. Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181
[7]
Ibid. hal. 185-6
[8]
Ibid.
[9]
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia, 2000. hal. 35
[10]
Ibid. hal. 36
[11]
Ibid. hal. 33
[12]
Drs. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit. hal. 187
[13]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar